Alkisah, seorang lelaki santun duduk di tepi sungai. Ia sudah beberapa lama tidak makan apapun. Lalu sebutir apel yang terbawa arus itu dipungutnya, dan dimakan. Sesaat kebutuhannya terpenuhi. Namun sesaat kemudian hati kecilnya menggugat. “Apel siapa ini? Mengapa aku memakannya tanpa minta izin?”
Lelaki itu menelusur ke hulu, mencari pemilik apel tersebut. Beberapa jauh kemudian ia menemukan pemiliknya. Ia minta tindakannya memakan apel hanyut tanpa izin pemiliknya tersebut dimaafkan. Abdullah, pemilik kebun, itu bersedia memaafkan dengan syarat tertentu. Yakni agar lelaki itu bersedia menikahi putrinya. “Tapi putriku itu buta, lumpuh, dan bisu,” kata Abdullah.
Lelaki itu mengangguk. Ia siap melakukan pekerjaan halal apapun untuk mendapatkan maaf. Hatinya tidak akan pernah tenang sebelum ia mendapatkan maaf itu. Pernikahan pun dilangsungkan. Sang istri, Fatimah, ternyata seorang gadis luar biasa. Cerdas, cantik, dan sama sekali tidak buta, lumpuh dan bisu. “Ia buta dari perbuatan melihat maksiat, lumpuh dari melangkahkan kaki ke tempat-tempat yang tidak benar, serta bisu dari ucapan yang tidak senonoh,” kata Abdullah. Mereka dikaruniai anak saleh yang kemudian menjadi tokoh besar sufi, Syekh Abdulqadir Jaelani.
Apa yang membuat ayah Abdulqadir Jaelani begitu bersusah payah mencari pemilik apel yang hanyut di sungai? Bukankah si pemilik tak merasa kehilangan bila sebutir apel dari kebunnya yang luas jatuh ke sungai. Ia juga akan merasa maklum jika ada yang memungut apel itu, dan kemudian memakannya. Ia tentu tidak akan mempersoalkan seandainya tahu siapa yang memakan apel itu. Apalagi ia sama sekali tidak tahu siapa yang memakan apel itu, bahkan tidak tahu kalau apelnya hanyut di sungai.
Tidak demikian bagi seorang saleh sejati seperti ayah Abdulqadir Jaelani. Sebutir apel, dalam keadaan sangat lapar, sungguh berarti bagi perutnya. Namun hatinya tidak dapat menerima apel tak bertuan itu. Hatinya terus terjaga dalam keadaan jernih. Noda setitik pun yang akan mengotori kejernihan hati akan membangkitkan mekanisme untuk membuang jauh noda itu, dan mengembalikan kejernihan hati seperti semula. Hati itu menggerakkan kakinya untuk melangkah, menggerakkan bibirnya untuk minta maaf, dan menggerakkan seluruh jiwa raganya untuk menerima persyaratan apapun buat mendapatkan maaf itu.
Apa yang sebenarnya ada pada hati itu sehingga mempunyai daya gerak yang begitu hebat?
Tuhan tidaklah memandang rupa seseorang. Tidak pula memandang bentuk seseorang itu. Namun, Tuhan memandang hati orang tersebut.
Lewat hati manusia pula, Tuhan mengungkapkan kehadirannya pada diri seseorang. Lewat hati seseorang dapat merasakan bahwa Tuhan memang “lebih dekat dibanding urat leher sendiri”. Lewat hati, seseorang dapat merasakan hal yang dalam penggambaran sufistik, “dengan mata-Nya ia melihat, dengan telinga-Nya ia mendengar, dengan tangan-Nya ia menyentuh.”
Sachiko Murata, profesor bidang studi agama di Universitas New York, menilai banyak ayat-ayat kitab suci yang membahas mengenai hati sebagai sentralitas pada diri manusia, Secara harfiah, hati itulah yang akan membalik, mengubah, memaju-mundurkan, serta menaik-turunkan manusia. Tidak berlebihan bila hati dipandang sebagai “lokus kebaikan dan kejahatan, maupun kebenaran-kesalahan.”
Hati yang akan mengendalikan seseorang hingga tenteram atau gelisah. Hati yang akan menentukan seseorang sukses atau tidak dalam mengarungi gelombang hidup. Itu yang menjelaskan mengapa para imam sufi tak henti untuk menekankan pentingnya, latihan tanpa akhir untuk mengendalikan hati.